Penerapan Fiqih Muamalah Sebagai Dasar Kewenangan
Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Pengarang : Hj. Renny Supriyatni
Abstraksi
Pengembangan
lembaga ekonomi Islam di Indonesia telah menciptakan konflik kepentingan antara
stakeholder dan Pengadilan Agama, khususnya dalam penyelesaian sengketa ekonomi
syariah. Penerapan fiqih muamalah dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah
di Pengadilan Agama Islam, telah menjadi isu penting dalam hukum Indonesia
positif.
Artikel
ini akan berusaha untuk menemukan dan menentukan apakah penerapan fiqih
muamalah sebagai dasar dalam penyelesaian sengketa tersebut konsisten dengan
Prinsip-prinsip Hukum Islam. Hal ini juga mengkaji penerapan fikih muamalah
yang telah menjadi hukum postive bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif.
Pengumpulan data dikumpulkan dari penelitian
perpustakaan dilengkapi dengan primer dari penelitian lapangan. Spesifikasi
penelitian ini adalah analisis deskriptif, dan data yang dikumpulkan dianalisis
dengan metode kualitatif. Artikel ini akan menunjukkan bahwa fiqih muamalah di
atas aturan yang diatur dalam UU No.3 tahun 2006 Jo. UU No 50 tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas UU No.7 tahun 1989. Sementara itu, Prinsip-prinsip
Hukum Islam telah diadopsi oleh UU No.21 tahun 2008, Keputusan Pengadilan
Supremre No 2 Tahun 2008 dan aturan terkait lainnya dan peraturan. Penulis
menyarankan bahwa Pemerintah Indonesia mengadopsi peraturan pelaksanaan
syariah-ekonomi.
Hal
ini juga dianjurkan bahwa pemerintah harus meningkatkan sosialisasi hukum dan
peraturan yang berkaitan dengan fikih muamalah dan syariah-ekonomi kepada
masyarakat umum. Ini bisa menjadi panduan bagi umat Islam Indonesia untuk
secara komprehensif mempraktekkan ajaran agama mereka.
Pendahuluan
Ekonomi syari’ah hadir dalam ranah sistem hukum nasional merupakan
pengejawantahan dari semakin tumbuhnya pemikiran dan kesadaran untuk mewujudkan
prinsip hukum sebagai agent of development, agent of modernization dan
hukum sebagai a tool of social engineering.
Hal ini seiring dengan perkembangan lembaga ekonomi/keuangan syariah di
Indonesia, maka akan ada perbedaan kepentingan (conflict of interest)
dengan dunia Peradilan khususnya Peradilan Agama, titik singgung yang dimaksud
adalah dalam hal penyelesaian sengketanya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut UUPAg.) telah membawa perubahan
besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini, dimana salah satu
perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara
lain dalam bidang ekonomi syari’ah.
Berdasarkan
data yang yang diperoleh dari Ditjen Badan Peradilan Agama yang diakses melalui
situs Badan Peradilan Agama,2 hakim Pengadilan Agama yang menangani perkara
ekonomi syari’ah mengalami sedikit kendala dalam melaksanakan tugasnya. Kendala
dimaksud antara lain:
1. Baru
pertama kali menangani perkara ekonomi syari’ah, sehingga wajar apabila
pengetahuan dan keterampilan hakim dalam menangani perkara tersebut belum
memadai;
2. Masih
belum ada hukum materiil ekonomi syari’ah yang terkumpul pada suatu peraturan
perundang-undangan tertentu. Akibatnya, hakim harus menggali hukum materiil
yang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya dari: Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Kitab-kitab Fiqh, Undang-Undang
Perbankan, Peraturan Bank Indonesia, dan rujukan lain. Kendala ini tidak
terlalu dominan, karena umumnya para hakim Pengadilan Agama berlatar belakang
Sarjana Syari’ah yang tentu saja pernah mempelajari hukum ekonomi
syari’ah/hukum muamalah.
Bertambahnya kewenangan Pengadilan Agama tersebut yang belum diimbangi
dengan payung hukum (umbrella provision) yang memadai, hakim Pengadilan
Agama dalam menjalankan fungsi yudikatif apabila tidak menemukan payung hukum,
tidak sedikit yang mempertimbangkan faktor budaya, baik yang terekam dalam
beberapa buku fiqih madzhab ataupun yang hidup dalam masyarakat (the living
law).
Hal ini merupakan kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk
tetap menyelesaikannya. Oleh karena itu, setiap hakim dalam lingkungan
Peradilan Agama dituntut supaya mengembangkan kemampuan ijtihad-nya (rechtvinding).
Termasuk dalam katagori ijtihad disini adalah ia berusaha
mencari atau memberikan keputusan hukum yang lebih sesuai dan adil dalam upaya
mengembangkan sistem hukum itu sendiri. Dalam teori hukum Islam (Islamic
legal theory), pada dasarnya apabila hakim mendasarkan putusannya kepada
pendapat para ahli fiqih (imam madzhab/fuqaha) dengan memahami dan mengerti
baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar yang bersangkutan menetapkan
garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim yang demikian menggunakan
cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat madzhab fiqih tertentu dengan
mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya, dalam ajaran Islam hal ini
dibolehkan.
Namun apabila hakim dalam menyelesaikan perkara secara membabi buta
mengikuti madzhab tertentu sesuai yang diikutinya, padahal garis hukum yang
dibuat oleh madzhab yang dianutnya tersebut belum tentu cocok diterapkan pada
kondisi sekarang, yakni masih memerlukan pengkajian-pengkajian secara seksama,
maka jalur yang digunakan oleh hakim tersebut disebut taklid, dalam
ajaran Islam hal ini dilarang.
Perbedaan
antara putusan hakim dengan fiqih madzhab sangat dimungkinkan terjadi,
mengingat kebenaran doktrin fikih pada dasarnya adalah bersifat nisbi dan
sangat dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu saat fiqih dibuat.5Dalam
perspektif azas legalitas dan persamaan di depan hukum, sebagaimana diatur
dalam Pasal 58 ayat (1) UUPAg bahwa: ”Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang ”
Pembahasan
·
Landasan
Yuridis Penggunaan Fikih Muamalah Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah
Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Peradilan Agama, perkara
ekonomi syari’ah termasuk kewenangan Pengadilan Agama. Masalah ekonomi syari’ah
merupakan bidang baru dari kewenangan Pengadilan agama yang belum diatur dalam
perundang-undangan, namun berdasarkan Pasaltersebut Pengadilan agama memiliki
kewajiban bahkan sudah merupakan asas peradilan untuk tetap menyelesaikannya.
Dasar hukumnya adalah:
v Pasal16
ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
v Tidak
ada satupun ketentuan undang-undang yang melarang penerimaan atas ilmu
pengetahuan termasuk doktrin fikih muamalah sebagai dasar dalam menyelesaikan
sengketa atau perkara
v Kadang-kadang
hakim merasa pengetahuannya di bidang hukum masih sangat terbatas, sehingga
menganggap perlu mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang
dianggapnya lebih mengetahui.
Seorang hakim mendasarkan putusannya pada pendapat para ahli yang lebih
mengerti sebagaimana point tiga (3) di atas mempunyai dua konotasi. Dalam teori
hukum Islam (Islamic legal theory), apabila hakim tersebut mendasarkan
putusannya kepada pendapat para ahli fikih (imam madzhab/fuqaha) dengan
memahami dan mengerti baik cara maupun alasan-alasan yang menjadi dasar yang
bersangkutan menetapkan garis-garis hukum terhadap kasus tertentu, maka hakim
yang demikian menggunakan cara ittiba’ yaitu mengikuti pendapat madzhab
fikih tertentu dengan mengetahui alasan-alasan penetapan hukumnya, dalam ajaran
Islam hal ini dibolehkan. Apabila hakim dalam menyelesaikan perkara secara
membabi buta mengikuti madzhab tertentu sesuai yang diikutinya, padahal garis
hukum yang dibuat oleh madzhab yang dianutnya tersebut belum tentu cocok diterapkan
pada kondisi sekarang, yakni masih memerlukan pengkajian-pengkajian secara
seksama, maka jalur yang digunakan oleh hakim tersebut disebut taklid,
dalam ajaran Islam hal ini dilarang.
32 Hakim Agama yang mendasarkan putusannya semata-mata atas dasar doktrin
madzab yang dianutnya dengan tidak memperhatikan madzhab yang diikuti oleh para
pihak atau nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat, berarti hakim
tersebut telah menjadikan madzhabnya sebagai kitab hukum, maka hal ini
bertentangan dengan asas hukum yang menyatakan bahwa putusan pengadilan
berdasarkan hukum, dan dalam teori hukum Islam hakim yang demikian termasuk
hakim muqallid -taklid buta- yang dilarang (diharamkan) dalam Islam.
Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Peradilan Agama menganjurkan atau bahkan
menuntut Hakim Agama supaya melakukan ijtihad (rechtvinding).
Anjuran ini antara lain dapat dipahami dari teks-teks di bawah ini:
v Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya (Pasal16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman Jo Pasal56
ayat (1) Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama;
v Hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan
mengintegrasikan diri dalam masyarakat …” (Angka 7 Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman):
·
B.
Aktualisasi Fikih Muamalah yang Telah Menjadi Hukum Positif di Indonesia
Hukum Islam yang seperti diformulasikan oleh Dewan Syariah Nasional
(DSN) yang bersumber pada fiqih para fuqaha digunakan sebagai acuan pada
sistem operasionalisasi prinsip ekonomi syariah yang digunakan oleh para pihak.
Adapun fikih muamalah dari para fuqaha yang telah diformulasikan oleh DSN
diantaranya:
1. Fatwa
–MUI No. 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Intersat/Faidah).
2. Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Giro.
3. Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2006 Tentang Tabungan, dll
Perlu ditegaskan bahwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) bukan lembaga Negara, keberadaan MUI tidak dibentuk berdasarkan
undang-undang. Akan tetapi, peran kultural MUI secara kualitatif dan kuantitaif
dalam mengembangkan dan menjalankan ekonomi syariah di Indonesia sangatlah
besar. Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum islam untuk memberikan
jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Sebab posisi fatwa di
kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid. Artinya,
kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan,seperti dalil bagi mujtahid.37Apabila
kedudukan fatwa dilihat dari aspek kajian ushul fiqh, maka kedudukan
fatwa hanya mengikat orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa.38Namun
dalam konteks ini, teori itu tidak dapat sepenuhnya dapat diterima karena
konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini telah berkembang dan berbeda dengan
fatwa klasik.
Pada saat ini, fatwa ekonomi syari’ah DSN tidak hanya mengikat bagi
para praktisi lembaga ekonomi syari’ah melainkan juga bagi warga masyarakat
Islam Indonesia. Apalagi saat ini fatwa-fatwa tersebut telah dijadikan hukum
positif melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah,
sebagaimana tercantum dalam dalam Pasal1 angka (12) yang berbunyi “ Prinsip
syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di
bidang syariah.”Selain fatwa-fatwa tentang ekonomi syari’ah terdapat beberapa
peraturan yang berkenaan dengan fikih muamalah dalam bidang ekonomi yang telah
menjadi hukum posistif di Indonesia dan menjadi acuan hakim dalam memutus
perkara sengketa ekonomi syariah, diantaranya sebagai berikut:
1. UU
No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama.
2. UU.
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Label halal);
3. UU
No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.
4. UU.
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf;
Kesimpulan
1. Pengaturan
penggunaan fikih muamalah dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di
Pengadilan Agama sebagai acuan hakim dalam menyelesaikan sengketa diperbolehkan
mengingat belum adanya peraturan perundangan yang secara umum mengatur tentang
ekonomi syari’ah. Oleh karena itu guna memberikan kepastian hukum dan memenuhi
rasa keadilan masyarakat, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum di masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah.
2. Aktualisasi
fikih muamalah, bagian-bagian materil Syariat Islam yang telah menjadi hukum
positif (Perundang-Undangan yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah) di
Indonesia adalah Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
PERMA No 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah serta
Peraturan-peraturan lain seperti Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan
Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah. Fatwa-fatwa
MUI yang berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi syariah yaitu fatwa Nomor No.
01/DSN-MUI/IV/2006, No. 53/DSN-MUI/IV/2006. Peraturan perundang-undangan dan
fatwa-fatwa tersebut menjadi dasar pelaksanaan kegiatan dibidang ekonomi
syari’ah terutama pada bank-bank syari’ah atau bank-bank konvensional yang
membuka cabang syari’ah.
Sumber Jurnal
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=65130&idc=21
Nama Kelompok :
Risca Damayanthi (26210025)
Nurvita Setyaningsih (25210225)
Riza Fajar Anggraeni (26210089)
Setyo Rini Purbowati (26210489)
Ridwan (25210915)
2 EB 06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar