Senin, 30 April 2012

Review Jurnal Hukum Dagang



ANALISIS SISTEM HUKUM JUAL BELI HAK
ATAS TANAH SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
POKOK AGRARIA

Pengarang : H a r y a t i

Abstrak

Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun
1960), untuk mdakukan perbuatan hlikum jual beli hak atas .tanah berlakulah
ketentuan httktrnt yang bersijat dualisme, yaitu menurtmt Hukurn Adat dun Hukum
Barat. Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, yang bersifat unifikasi
(kesatuan hukum), jual beli hak atas tanah tidak menggunakan kedua ketentuan
hukum diatas, melainkan menggunakan sistem dan asas-asas Hukum Adat.

Pendahuluan
Dengan mulai berlakunya Undang- Undang pokok Agamia (undang- undang No.5/1960)terjadilah suatu perubahan fundamental dalam Hukum Agraria Indonesia. Sebelum itu terdapat apa yang di sebut “dualisme” dalam Hukum Agraria kita, yaitu bersumber pada Hukum Barat yang sebagian terbesar berpokok pada ketentuan-ketentuan Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia (Hukum Agreria Barat),di samping Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Adat, yang sebagian besar kaidah-kaidahnya merupakan Hukum yang tidak tertulis(Hukum Agraria Barat).
mulai berlakunya UUPA dualisme tersebut di hapuskan, yaitu dengan dicabutnya dualisme tersebut di hapuskan, yaitu dengan dicabutnya Buku II kitab Undang – Undang Hukum Perdata indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.Namun sekarang mengenai hipotik telah di atur dalam Undang-Undang No.41 1996, yang mengatur tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengn Tanah.Dengan demikian UUPA telah menciptakan unifikasi hukum(Kesatuan hukum) yang dengan tegas memakai dasar Hukum Adat ( Pasal 5 UUPA, yang menyatakan bahwa : “Hukum Agraria yang berlaku ialah hukum adat).
Mengingat sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria mengenai jual beli hak atas tanah itu terdapat 2(dua)sistem humum, yaitu menurut pengerian hukum adat dan hukum barat.

PEMBAHASAN
1.Jual Beli Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat
Menurut hukum adat jual beli hak atas tanah bukan merupakan perjanjin dimana yang dimaksudkan dalam pasal 1457 KUHP perdata , melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya,pada saat itu pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan dilakukannya jual beli trsebut maka hak milik atas tanah it beralih kepada pembeli.Menurut hukum pembeli telah menjadi pemilik baru. Harga tanah yang di bayar bisa dianggap telah di bayar penuh.
Jual beli hak atas tanah menurut Hukum Adat bersifat apa yang di sebut “contoh” atau “tunai”. Pembayaran harga dan penyerahan haknya di lakukan pada saat yang bersamaan.
Pada saat itu jual beli tersebut menurut hukum telah selesai.Sisa harganya yang menurut kenyataannya belum dibayar di anggap sebagai utang pembeli pada bekas pemilik, atas dasar perjanjian utang piutang yang di anggap terjadi antara pembeli dan bekas pemilik segera setelah jual beli tanah tersebut di lakukan. Perjanjian utang piutang itu tidak ada hubungan hukumnya dengan jual beli hak atas tanh.berarti bahwa jika kemudian pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tidak dapat menuntut pembatalan jual beli.Penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut harus dilakukan menurut hukum perjanjian utang piutang.
Dalam Hukum Adat “jual beli tanah” bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut “perjanjian obligatoir”. Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya harga yang di setujui bersama di bayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.
Biasanya jusl beli tanah itu dilakukan Kepala Adat(Desa),tetapi dalam kedudukannya sebagai kepala adat(Desa) menanggung, bahwa jual beli tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.Dengan dilakukannya dimuka kepala Adat jual beli itu menjadi “terang” bukan perbuatan hukum yang “gelap”. Pembeli mendapat pengakuan dari masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik yang baru dan akan mendapatkan perlindungan hukum jika dikemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menganggap jual beli tersebut tidak sah.
Di keputusan lain mahkamah agung berpendapat bahwa : peranan kepala desa atau kepala adat pembuatan perjanjian yang menyangkut tanah menyatakan : “suatu putusan rapat Desa(rapat selapanan) tentang pengalihan tanah yang diadakan sebelum berlakunya UUPA dinyatakan tetap berlaku”.(Putusan Mahkamah Agung nomor 187/K/Sip/1975,tanggal 17 maret 1976).
Umumnya dari jual beli hak atas tanah dibutuhkan suatu AKTA, berupa pernyataan dari pihak yang menjual bahwa ia telah menjual tanahnya kepada pembeli.(istilah menurut hukum adat :di jual lepas)
Menurut hukum adat untuk sahnya perjanjian itu disyaratkan adanya apa yang disebut “panjer”.Panjer dapat berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan kepada pemilik tanahnya.Perjanjian akan jual beli itu tidak termasuk Hukum Agraria atau Hukum Tanah,melainkan termasuk hukum perjanjian atau hukum perutangan.Jika pihak-pihak yang bersangkutan tunduk pada hukum adat maka hukum yang berlaku terhadap perjanjian itu adalah hukum adat. Jika pihak-pihak yang besangkutan tunduk pada Hukum Barat maka yang berlaku adalah Hukum perjanjian yang terdapat dalam KUHP perdata. Tetapi perjanjian itu bukan perjanjian jual beli yang dimaksudkan dalam pasal 1457. Jika pihak pemilik dan calon pembeli tunduk pada hukum yang berlainan,maka hukum antara golonganlah yang akan menunjukkan hukum manakah yang berlaku.
2.Jual Beli Hak Atas Tanah Menurut Hukum Barat
Menurut Hukum Barat jual beli,pengaturannya ada dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Menurut pasal 1457 KUHPerdata,jual beli adalah suatu perjanjian,dengan mana pihak yang satu(penjual)mengikatkan dirinya untuk menyerahkan (hak milik atas)suatu benda dan pihak yang lain(pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan.selanjutnya dalam pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli itu di anggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang dijualbelikan itu serta harganya.Dalam sistem Hukum Barat jual beli mengenai tanah,tanahnya harus diserahkan kedalam kekuasaan pembeli dengan perjanjian tersendiri.Hak milik atas tanah tersebut baru beralih kepada pembeli jika telah dilakukan apa yang disebut “penyerahan yuridis”(juridische levering). Pada waktu dilakukan penyerahan yuridis itu baik pembeli maupun penjual kedua-duanya wajib hadir. Biasnnya penjual setelah perjanjian jual beli dilakukan memberi kuasa kepada penibeli untuk hadir dan melaksanakan penyerahan yuridisnya untuk dan atas nama penjual, yaitu jika harganya sudah dibayar lunas.

Perianjian jual beli pengaturmya termasuk Hukum Perjanjian (Hukum Perikatan atau Hukum Perutangan),sedang penyerahan yuridisnya termasuk Hukum Benda(HukumTanahatauHukum Agnria). Sebelum dilakukan penyerahan yuridis barulah ada pihak penjual akan menyerahkan haknya kepada pembeli, janji mana sungguhpu merupakan kewajiban hukumbelm tentu akan benar -benar dilaksanakan.

Sudah menjadi kenyataan bahwa setiap bangsa mempunyai kebudayaan sendiri dan juga mempunyai hukum sendiri,yang berbeda dari kebudayaan dan hukum bangsa lain. Dalam membandingkan kedua sistim hukum yang berlaku dalam jual beli hak atas tanah, yaitu menurut Hukum Adat Dan Barat ini, kita tidak semata-mata hingga mengetahui pebedaan-perbedaan itu,tetapi yang penting adalnh untuk mengetahui sebab-sebab adanya perbedaan-perbedaan tersebut. Adapun sebab-sebab dari perbedaan-perbedaan tersebut adalah adanya cara berfikir dan sifat (karakter)satu bangsa  dan lainnya berbeda.
Hal ini tercermin dari kebudayaan dan hukumnya. Cara berfikir orang barat digambarkan sebagai abstrak, analitis,sistematis. Sedangkan cara berfikirorang Indonesia menurut Hukum Adat adalah konkrit dan riil. Sesuai dengan cara berfikir tersebut diatas, maka pengertian jual beli dalam Hukum Adat adalah suatu penyerahan barang secara nyata untuk selama-lamanya dengan penerimaan harganya. Lain sekali dengan pengertian Hukum Barat, jual beli sebagai perjanjian obligatoir, baru memberikan hak kepada pembeli setelah dilaksanakan penyerahan
yuridis kepada pembeli. Disamping perbedaan diatas masih ada perbedaan lain, yakni : Hukum Barat, dalam hal tanah menganut asas "vertikal", sedangkan Hukum Adat menganut "asas Pemisahan Horisontal", dengan demikian berarti rumah dapat diperjual belikan terpisah dari tanah. (Putusan Mahkamah Agung, nomor: 2339 K/Sip/1982, tanggal 16 Juni 1983,yang menyatakan bahwa : menurut pasal5 - bagi tanah berlaku Hukum Adat,ha1 mana berarti rumah dapat diperjual belikan terpisah dari tanah (pemisahjan horisontal).

Menurut asas vertikal hak milik atas sebidang tanah meliputi benda-benda yang berada diatasnya (bangunan). Asas vertikal juga dinamakan asas absorpsi,artinya, menyedot segala apa yang berada diatasnya. Menurut asas Horisontal hak milik atas sebidang tanah tidak meliputi bangunan diatasnya.

KESIMPULAN

Dalam jual beli hak atas tanah menurut sistem Hukum Adat, antara pembayaran harga dan penyerahan hak dilakukan bersama-sama, dan pada saat itu hak milik atas tanah berpindah. Karena sifatnya yang kontan, saat ini pembeli sudah menjadi pemilik tanah yang baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cara berfikir orang indonesia adalah kongkrit dan rill, maksudnya adalah bahwa dalam hukum adat jual beli adalah suatu penyerahan barang secara nyata untuk selama lamanya dengan penerimaan harganya.
Berbeda dengan jual beli hak atas tanah menurut sistem Hukum Barat.Menurut sistem Hukum Barat dibedakan antara : perjanjian jual belinya dan penyerahan yuridisnya. Karena itu,sistem ini dikatakan bersifat : “konsensuil”. Jadi hak atas tanahnya baru di pindah setelah di buatnya akta penyerahan yuridis (levering juridis) oleh pejabat balik nama (overschrijvingsambtenaar).karena itu cara berfikir orang barat digambarkan sebagai abstrak analitis dan sistematis, maksudnya adalah bahwa jual beli sebagai perjanjian obligator, baru memberikan hak kepada pembeli untuk minta diserahkannya suatu barang masih harus dituntut pelaksanaanya.

DAFTAR PUSTAKA

Boedi Harsono (1971), Undang-Undang Pokok Agraria, Sejarah penyusunan, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

------------------ (1999), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Djaren Sarangih (1980), Pengantar Hukum Adat Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Effendi Perangin (1986), Hukum Agraria di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, C.V. Rajawali, Jakarta.

Harun Al Rashid (1987), Sekilas Tentang Jual Beli Tanah Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hilman Hadikusuma (1979), Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung.

Iman Syudiat (1978), Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta.

Subekti (1992), Perbandingan Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.

Suryo Wignjodipuro (1973), Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Alumni, Bandung.

Sumber



Nama Kelompok :

Setyo Rini Purbowati (26210489)
Risca Damayanthi (26210025)
Nurvita Setyaningsih (25210225)
Riza Fajar Anggraeni (26210089)
Ridwan (25210915)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar